MUKI | Majelis Umat Kristen Indonesia
  • Beranda
  • Profil
  • Gallery
  • Event
  • Blog
    • Artikel
    • Editorial
    • Sketsa
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Profil
  • Gallery
  • Event
  • Blog
    • Artikel
    • Editorial
    • Sketsa
  • Kontak
No Result
View All Result
MUKI | Majelis Umat Kristen Indonesia
No Result
View All Result
Home Artikel

Gotongroyong Membangun Bangsa: Sumbangan Pemikiran Untuk Seminar dan Lokakarya Agama-Agama Ke-35 Persekutuan Gereja-Gereja Di Indonesia (PGI)

by Editorial MUKI
July 24, 2019
in Artikel
0
Share on FacebookShare on Twitter

2 (dua) dari 4 (empat) tulisan

Negara menjamin kebebasan beragama, masyarakat memelihara kerukunannya

Manusia dikaruniai akal dan nurani, dan karena itu mampu berpikir; dan dengan kemampuan berpikir mengembangkan diri; mempelajari apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang buruk; menentukan apa yang perlu dilakukan dan apa yang tidak perlu; serta membuat dan menggunakan berbagai macam alat. Kemampuan berpikir membuat manusia mampu bertindak bebas, yaitu kemampuan mengambil keputusan; dan sebaliknya kemampuan mengambil keputusan membutuhkan kebebasan. Manusia memanfaatkan kebebasannya secara kritis, kreatif, konstruktif dan bertanggung jawab. Kebebasan menjadi hak dasar individu dan membatasi hak masyarakat terhadap individu tersebut. Negara menjamin pemenuhan hak kebebasan semua orang; dan masyarakat toleran terhadap perbedaan pemikiran, gagasan, agama atau kepercayaan.

Kebebasan menghasilkan keanekaragaman pendapat, kepentingan, profesi, agama, kepercayaan dan lain sebagainya. Masyarakat yang menginginkan kebebasan harus mengakui adanya keanekaragaman. Setiap individu mempunyai bakat, pendidikan, lingkungan, pekerjaan dan pengalaman yang berbeda-beda, dan kondisi ini mewujudkan keanekaragaman. Keanekaragaman manusia adalah kenyataan yang tidak perlu dipertanyakan; tetapi dalam keanekaragamannya, tetap harus ada keikaan manusia, yaitu martabat manusia yang sederajat. Pemahaman terhadap keanekaragaman manusia tercermin dalam kemampuan manusia untuk tidak menghakimi pihak lain. Seorang “pluralis” bisa memuji secara spontan. Ia mampu mendengar dan mengamati segala keanekaragaman, menilai dengan rasional dari berbagai aspek, dari posisi yang berbeda-beda, dan akhirnya dapat menerima keanekaragaman ini sebagai sesuatu yang seharusnya ada. Di samping kebebasan, perkembangan manusia membutuhkan situasi yang berbeda-beda. Keanekaragaman situasi akan mendukung kreativitas seseorang, menantang sisi baru dari kepribadiannya dan dengan demikian akan mengembangkan dirinya.

Toleransi adalah sikap menghormati kebebasan orang lain; mengakui hak menentukan sendiri yang dimiliki orang lain. Toleransi bertolak dari kesadaran bahwa tidak ada manusia yang mempunyai kebenaran mutlak sepanjang masa. Toleransi adalah kejujuran manusia, bahwa mungkin saja kebenaran ada di pihak lain. Manusia toleran mau dan mampu mendengar pendapat orang lain, termasuk yang dianggap salah; dan menyanggahnya dengan adu argumentasi. Manusia toleran lebih mudah berdialog dan kerjasama dengan pihak lain. Setiap pemikiran diuji kelebihan dan kekurangannya, dan melalui berbagai diskusi dapat ditemukan sintesa dari berbagai pemikiran, yang lebih mendekati kebenaran daripada pendapat sendiri yang terisolasi. Kebebasan adalah prosedur pencarian kebenaran secara terus menerus; kebenaran yang satu disanggah oleh kebenaran yang lainnya, dan mekanisme ini berlangsung terus menerus. Prosedur ini adalah pengolahan fakta secara rasional dalam suasana bebas. Kebebasan pribadi harus mendapat perlindungan dari tirani kekuasaan dan tirani mayoritas; walaupun kehendak mayoritas yang menjadi kebijakan negara, tetapi harus dihindari perampasan kebebasan pribadi.

Kebebasan beragama dan berkepercayaan mengamanatkan bahwa semua orang berhak menganut agama atau kepercayaan yang dia pilih sendiri. Hidup sesuai dengan keyakinannya, mengamalkan agama atau kepercayaannya, dan mengkomunikasikannya kepada orang lain. Kebebasan beragama berarti negara tidak boleh memaksa sesorang untuk menganut agama tertentu, atau memaksa penganut agama untuk melaksanakan ajaran agamanya. Negara juga tidak boleh meresmikan suatu agama; negara menjamin hak kebebasan seseorang untuk beragama atau berkepercayaan; dan untuk mengubah agama atau kepercayaan yang dianutnya. Seseorang atau sekelompok orang harus dijamin hak kebebasannya untuk beribadah dimanapun mereka mau melaksanakannya, sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum; apakah beribadah di rumah, taman, lapangan terbuka, atau tempat lainnya. Kebebasan beragama membutuhkan jaminan dari negara dan toleransi dari masyarakat. Kebebasan beragama dan berkepercayaan adalah bagian dari hak kebebasan, yang pemenuhannya membutuhkan jaminan dari negara dan toleransi masyarakat.

Secara konstitusional kebebasan beragama dan berkeperca-yaan di Indonesia sudah terjamin, tetapi dalam kehidupan sehari-hari kebebasan beragama dan berkepercayaan menghadapi banyak hambatan dan gangguan. Perjuangan kita selanjutnya adalah menuntut agar hak kebebasan ini dapat dipenuhi dalam kehidupan sehari-hari, di seluruh Indonesia. UUD 1945, pasal 29 ayat (2) menyatakan: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.; pasal 28E yang ayat (1) menyatakan: Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,…; dan pasal 28E ayat (2) menyatakan: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,1948, pasal 18 menyatakan: Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance. (Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinannya, serta kebebasan, secara pribadi atau bersama-sama dengan orang-orang lain dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan agama atau keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaatan.) Amanat konstitusi dan deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, 1948, di atas adalah perintah kepada negara untuk menjamin pemenuhan hak kebebasan beragama atau berkepercayaan dari semua penduduk Indonesia; dan masyarakat harus mampu berpikir dan bersikap bahwa perbedaan beragama, sama seperti perbedaan lainnya adalah sesuatu yang selalu ada, dan tidak perlu dijadikan alasan untuk membenci dan memusuhi kelompok lain.

Soekarno dalam Sidang Pertama BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 bertanya dan kemudian menjawabnya sendiri: Saudara-saudara apakah Prinsip kelima?………….Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri………Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama” Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini,……..menyatakan bahwa prinsip kelima daripada Negara kita ialah ke- Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur. Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.3. Prinsip ini akan menjamin terpenuhinya hak kebebasan beragama atau berkepercayaan, karena setiap orang akan menyembah Tuhan dengan berbudaya, dan saling menghormati. Tetapi yang sering terjadi sekarang ini egoisme beragama, mau benar sendiri, mau menang sendiri dan suka memaksakan kehendaknya kepada pihak lain; yang besar menindas yang kecil, dan yang kecill tidak punya tempat mengadu karena negara hampir selalu memihak yang besar; dan atas nama agama, orang melakukan kekerasan terhadap yang lain, suatu sikap yang seharusnya tidak terjadi di Indonesia. Kebebasan beragama dan berkepercayaan membutuhkan jaminan dari negara dan toleransi dari masyarakat. Konflik yang terjadi akibat perbedaan agama atau kepercayaan dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Dialog yang adil dan sederajat oleh semua pihak yang terlibat konflik, akan menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan hanya boleh dibatasi sejauh diperlukan untuk melindungi hak-hak kebebasan orang lain. Martabat manusia akan jatuh apabila ia dipaksa untuk mengakui sesuatu sebagai benar atau untuk tidak mengakui sesuatu yang disadarinya benar; baik manusia yang memaksa maupun yang terpaksa, sama-sama jatuh martabatnya. Pemenuhan hak kebebasan membutuhkan toleransi masyarakat terhadap berbagai perbedaan yang ada, termasuk perbedaan agama.

Negara dan masyarakat memiliki fungsi masing-masing; negara menjalankan fungsi yang tidak dapat dilakukan sendiri dengan baik oleh masyarakat; negara membantu masyarakat, dalam berbagai fungsi yang tidak dapat dikerjakan sendiri dengan baik oleh masyarakat. Dari pemikiran ini terbentuklah suatu prinsip negara demokrasi, yaitu prinsip subsidiaritas: negara berfungsi membantu masyarakat, dan berbagai kegiatan yang dapat dilaksanakan sendiri dengan baik oleh masyarakat, negara tidak perlu melakukannya. Kata“subsidiaritas” berasal dari kata Latin “subsidium” yang berarti “bantuan, sokongan”.

Belakangan ini, banyak pejabat negara dan pemuka masyarakat yang menempatkan kerukunan beragama sebagai pengganti kebebasan beragama. Demokrasi memandang ini sebagai suatu kekeliruan, karena kebebasan beragama adalah bagian dari hak asasi manusia yang pemenuhannya harus dijamin oleh negara, dan tidak dapat diganti dengan yang lain, termasuk dengan kerukunan beragama. Dan kalau hal itu terjadi, berarti negara tidak menjamin pemenuhan hak kebebasan beragama, tetapi justru bermaksud memaksakan kerukunan beragama. Pemikiran dan sikap seperti ini adalah keliru dan hampir pasti gagal. Dikatakan keliru karena negara berfungsi dan bertanggung-jawab menjamin pemenuhan hak kebebasan beragama, dan bukan menjamin kerukunan umat beragama. Dikatakan pasti gagal karena kerukunan bergama hanya mungkin terwujud kalau umat beragama itu sendiri bersedia dan berusaha hidup rukun. Perlu diingat bahwa dalam negara demokrasi, kerukunan beragama dan berkepercayaan adalah fungsi masyarakat, bukan fungsi negara. Kerukunan beragama menjadi urusan masyarakat; dan negara berfungsi menjamin terpenuhinya hak kebebasan beragama semua penduduk. Soepomo dalam pidatonya di Sidang Pertama BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 menyatakan: Dengan sendirinya dalam negeri nasional yang bersatu itu, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinya dalam negara nasional yang bersatu itu urusan agama akan diserahkan kepada golongan agama yang bersangkutan. Dan dengan sendirinya dalam negara sedemikian seseorang akan merdeka memeluk agama yang disukainya. Baik golongan agama yang terbesar,maupun golongan yang terkecil, tentu akan merasa bersatu dengan negara .

Kerukunan umat beragama harus datang dan terjadi dalam masyarakat, khususnya umat beragama dan berkepercayaan itu sendiri. Kerukunan beragama atau berkepercayaan tidak bisa dipaksakan oleh negara, karena kerukunan adalah perilaku sukarela dari warga masyarakat. Negara bisa saja menganjurkan umat beragama untuk hidup rukun, tetapi kalau kemudian umat beragama tidak rukun, negara tidak punya kewenangan menghukum mereka. Pengadilan tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang tidak rukun, karena ketidak-rukunan bukan pelanggaran hukum. Sering terjadi, kerukunan beragama hanya menjadi ajang pemaksaan kehendak sikuat terhadap silemah. Pada awalnya, demi menjaga kerukunan terhadap sikuat, silemah bersedia mengurangi kebebasannya. Pengurangan kebebasan ini, lama-kelamaan dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus dipatuhi silemah, dan bagi sikuat dianggap sebagai hak yang dapat mereka nikmati. Sejak kebebasan dipasung, penindasan berjalan perlahan-lahan, kemudian bergerak semakin cepat menyebar ke seluruh wilayah negara. Tanpa disadari, penindasan ini berkembang, setahap demi setahap, sampai suatu saat masyarakat dikejutkan oleh penindasan yang tidak dapat diterima akal sehat.

Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI) adalah organisasi kemasyarakatan umat Kristen. Didirikan oleh individu-individu yang beragama Kristen dari berbagai latar belakang gereja dan profesi. Dibentuk dengan maksud mewujudkan jalinan kemitraan, kerjasama, persekutu- an sesama umat, organisasi gereja, lembaga komunitas Kristen untuk memperjuangkan kepentingan, hak dan tanggung jawab umat Kristen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepengurusan MUKI telah dibentuk di 31 Provinsi dan di 180 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Berkantor Pusat di Gedung Kopi, Jl. RP Soeroso No.20 Cikini, Jakarta.

Sejarah MUKI, awalnya didirikan tanggal 1 Desember 2005 dengan nama MUKI DKI Jakarta, pendiriannya ditandatangani oleh 7 aras gereja tingkat DKI Jakarta. Diresmikan tanggal 19 Desember 2005 yang dihadiri utusan Dirjen Bimas Kristen Republik Indonesia dan Pembimas Kristen Kanwil Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta, bertempat di Gedung Gereja Advent Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan.

MUKI didaftrakan di Badan Kesbangpol DKI Jakarta dan memperoleh Tanda Terima Pemberitahuan Keberadaan Organisasi dengan Nomor Investaris: 17/ STTPO/KA/V/2006 tanggal 31 Mei 2006.

Seiring dengan perkembangan MUKI DKI Jakarta, dirubah menjadi MUKI tingkat nasional dan dideklarasikan tanggal 14 November 2013 di Jakarta dihadiri oleh 13 perwakilan pengurus Provinsi dengan Akta No.25 Notaris Jelly Eviana, SH, MH tanggal 28 Desember 2012. Untuk menyesuaikan dengan UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas, dilakukan perubahan dengan Akta No.5 Notaris Jelly Eviana, SH, MH tanggal 17 April 2015.

MUKI mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.AHU.-0000657.AH.01.07 tahun 2015 tanggal 6 Mei 2015. Melaporkan kebera- daan organisasi MUKI kepada Menteri Dalam Negeri dan mendapatkan surat tanggapan dari Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia No.220/4420/POLPUM Tahun 2016 tanggal 31 Desember 2015. MUKI menyelenggarakan Rapat Umum Nasional pertama pada tanggal 20-23 Juli 2016 dan pengesahannya dengan Akta No.14 Tanggal 28 Nopember 2016 Notaris Jelly Eviana, SH, MH.

Penulis: [DPP MUKI]

Next Post

Gotongroyong Membangun Bangsa: Sumbangan Pemikiran Untuk Seminar dan Lokakarya Agama-Agama Ke-35 Persekutuan Gereja-Gereja Di Indonesia (PGI)

Gotongroyong Membangun Bangsa: Sumbangan Pemikiran Untuk Seminar dan Lokakarya Agama-Agama Ke-35 Persekutuan Gereja-Gereja Di Indonesia (PGI)

Menjadi “Garam dan Terang Dunia” di Indonesia

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • MUKI dan API: Teroris adalah musuh bersama bangsa Indonesia

    601 shares
    Share 240 Tweet 150
  • KETUM MUKI: BOM bunuh diri bagian dari Radikalisme & Terorisme

    558 shares
    Share 223 Tweet 140
  • MUKI : “Tindakan teroris bukan paham agama. Basmi ajaran terorisme”.

    511 shares
    Share 204 Tweet 128
  • Pernyataan Sikap FORUM CINTA PANCASILA Terkait Bom di Katedral Makassar

    520 shares
    Share 208 Tweet 130
  • Kegiatan MUKI Kebumen Jateng

    527 shares
    Share 211 Tweet 132

DARI EDITOR

Menangkap Kerisauan Umat

March 8, 2019

Aku, Kau, Mereka dan PILPRES

January 2, 2021

Kerja MUKI di 2019

January 21, 2019

PILIHAN

Sosialisasi MUKI di RRI Manado

Sosialisasi MUKI di RRI Manado

February 25, 2019

MUKI Sulut dan Zoominar “Gereja New Normal di Era Industry 5.0”

July 18, 2020
Talkshow Sekjen DPP MUKI Pdt. Ega Mawardin, M. Th, Wasekjen DPP MUKI Pdt. Joice Ester Raranta, M. Th di Radio Amigos bersama dengan Pdt. Hery Christian, M. Th sebagai owner radio Amigos dan pengurus DPW MUKI Tomohon Sulut.

Talkshow DPP MUKI di Radio Amigos

February 25, 2019

Pembukaan Sidang MPL PGI

November 6, 2019

SEKJEN MUKI: Ditahun ke-VII MUKI Memberikan Penghargaan

November 23, 2020
  • Beranda
  • Profil
  • Gallery
  • Event
  • Blog
  • Kontak
CALL CENTER: (021) 2123 2812

© 2021 Solusi Website

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Profil
  • Gallery
  • Event
  • Blog
    • Artikel
    • Editorial
    • Sketsa
  • Kontak

© 2021 Solusi Website