Berbicara kemajuan dan pembaharuan gereja selalu menarik untuk di percakapkan. Demikian juga dengan Gereja Batak, sebagai gereja yang memiliki jemaat terbesar di Indonesia. Tentu saja membenahi diri melalui berbagai seminar dan lokakarya, termasuk seminar dengan topik ”Masa Depan Gereja Batak dan Gereja Batak Masa Depan”. Seminar ini dihadiri oleh DPP MUKI (Majelis Umat Kristen Indonesia) yang diwakili Wasekjen Pdt. Joice Ester Raranta, M. Th, Wakil Ketua Departemen Hubungan antar Lembaga Faransina Ndolu, M.Pdk dan Bendum Koperasi Muki Pdt. Djane Tando, M. Th. Ada tiga tulisan sebagai bahan seminar yaitu:
- Masa Depan Gereja Batak dan Gereja Batak Masa Depan, Pdt. Marudut Manalu;
- Masalah Kepemimpinan dan Pemimpin dalam Gereja Batak, Pdt. Dr. Richard Daulay, M. Th, MA;
- Mengembangkan Gereja-gereka Batak menjadi Gereja yang Misioner, Pdt. (em.). Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D., Guru Bear STFT Jakarta.
Istilah ‘Misioner’ berasal dari kata misi (Latin: misio; Inggris; mission; Jerman; Mission) Selama banyak abad, misi dipahami sama dengan pemberitaan Injil Kristus dengan tujuan pengkristenan. Puncak pemahaman ini terlihat sejak akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-20, terutama melalui pembentukan banyak badan misi (pekabaran injil) yang banyak juga hadir dan bekerja di Indonesia(d/h Hindia-Belanda), termasuk di Tanah Batak.
Gustav Warneck yang diakui sebagai bapak Misologi modern, a.l melalui serial bukunya Evangelische Missionslehre (EML) (1982-1903) menyatakan bahwa tujuan misi (pekabaran Injil ) adalah Volkschristianisireung (pengkristenan seluruh rakyat/bangsa) alih-alih Einzelkebehrung (pertobatan pribadi).
Sejak tahun 1930-an, muncullah kesadaran dan pemahaman baru bahwa misi pada hakikatnya adalah Missio Dei. Yang bermisi itu terutama adalah adalah Tuhan Allah yang Tritunggal itu: Allah Bapa mengutus Anak-Nya Yesus Kristus; Yesus Kristus mengutus Roh Kudus, dan selanjutnya Allah yang Tritunggal itu mengutus gereja-Nya. Jadi gereja pertama-tama bukanlah pihak yang mengutus, melainkan yang diutus. Kalaupun kemuadian gereja-gereja menjalankan penginjilan, mengutus banyak penginjil, termasuk melalui pembentukan badan-badan penginjilan, itu adalah dalam rangka melanjutkan atau ambil bagian dalam Missio Dei itu.
Hal mendasar lainnya dalam Missio Dei adalah tujuan misi bukan mengkristenkan umat manusia (sebab Tuhan dating ke dunia bukanlah untuk mendirikan agama, termasuk agama Kristen), melainkan mewujudnyatakan shalom,keselamatan yang komprehensif dan holistik. Gereja bukan pemilik keselamatan, seakan-akan hanya orang kristenlah yang selamat, melainkan memberitakan dan membagikan warta keselamatan itu, tanpa membuat pendengar dan penerimanya harus menjadi Kristen. Dengan pemahaman atas Missio Deo itu, ukuran keberhasilan misi bukan lagi berapa banyak orang menjadi Kristen, melainkan apakah di tempat gereja hadir dan berkarya sudah terwujud shalom.
Gereja –gereja Batak: Bisa menjadi Misioner? Gereja-gereja suku memiliki banyak kekuatan. Salah satu yang menonjol adalah gereja suku sebagai persekutuan sosiologis: memelihara nilai-nilai dan pranta-pranata kesukuan. Tetapi di sisi lain gereja gereja suku kebanyakan menjadi introvert, bahakan eklusif. Kaluapun aa warga suku lain yang hendak bergabung, merekamitu harus menerima dan menyesuaikan diri dengan ciri dan kebiasaan di gereja suku itu. Di gereja-gereja Batak bahkan mereka itu (termasuk pelayanan tahbisannya) harus diberi marga. Watak dan perilaku tyang biasa terlihat di kalangan suku itu juga dipelihara dengan sukacita (misalnya ‘sisuan bulu’, ‘marbulu suhar’, dan hubungan kekerabatan dalihan na tolu).
Salah satu watak atau sikap gereja suku yang tidak langsung berkait dengan ciri suku itu adalah sikap tradisional: memelihara tradisi sebagai sesuatu yang suci, sehingga seulit menerima perubahan. Karena itu, kalau gereja-gereja Batak mau menjadi gereja yang missioner, mereka harus mengembangan dan membaharui pemahaman dan praktik tentang misi. Sambil memelihara dan ikut mengembangkan unsur-unsur dan nilai-nilai yang positif dari budaya dan spritualitas suku, gereja-gereja Batak juga perlu melihat dan menanggalkan hal-hal yang kurang positif dari warisan suku itu. Kedepan kiranya gereja-gereja Batak semakin mampu bahwa mereka berguna hadir di dunia ini.
Penulis: [Pdt. (em). Prof Jan S. Aritonang, Ph.D – Guru Besar STFT Jakarta]