Pendahuluan.
Akhir-akhir ini kehidupan politik kita diwarnai dengan kebencian dan permusuhan; Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden 2019 dengan jelas memperlihatkannya. Kebencian dan permusuhan ini ternyata tidak muncul tiba-tiba; masa lalu kita sarat dengan kebencian dan permusuhan antar berbagai kelompok masyarakat. Sejarah Indonesia pernah memperlihatkan kebencian dan permusuhan di antara kelompok-kelompok bangsa Indonesia sendiri, seperti pembunuhan massal setelah pembunuhan para jendral pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, yang berlangsung dari akhir 1965 sampai dengan 1966. Robert Cribb dalam bukunya menulis tentang korban pembunuhan massal yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965-1966, berdasarkan hasil survei yang dipimpin Kopkamtib dan dibantu oleh sekitar 150 orang sarjana, yang dilakukan pada tahun 1966, memuat keterangan sebagai berikut: 800.000 jiwa terbunuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 100.000 jiwa terbunuh di Sumatera dan 100.000 jiwa terbunuh di Bali.
Penggunaan kekerasan oleh berbagai kelompok masyarakat meningkat; tawuran masal terjadi karena banyak warga masyarakat yang tidak mau menyelesaikan perselisihan mereka dengan cara damai. Banyak kelompok masyarakat lebih suka menggunakan hukum rimba, yang seharusnya tidak boleh terjadi di era reformasi ini. Beberapa tahun lalu masyarakat penganut Ahmadiyah di Lombok oleh masyarakat sekitarnya diusir dari kampung halamannya sendiri; beberapa tahun lalu masyarakat penganut Ahmadiyah di Cikesik, Banten diserbu oleh masyarakat lain dari wilayah sekitarnya dan mengakibatkan kematian 3 orang warga Ahmadiyah; beberapa tahun lalu masyarakat penganut Syiah di Madura diusir oleh masyarakat tetangganya sendiri, dan dilarang kembali ke kampung halamannya sendiri, kemudian diungsikan oleh pemeritah daerah setempat ke Sidoarjo, Jawa Timur. Gangguan terhadap penganut agama dan kepercayaan dalam menjalankan ibadahnya, berupa perusakan rumah ibadah juga sering terjadi. Kebebasan beragama dan berkepercayaan di Indonesia sedang terancam. Berbagai kelompok masyarakat berbeda suku, agama, golongan dan kepentingan, dengan alasan yang tidak rasional, sering mengobarkan kebencian dan permusuhan. Konflik ini merusak keharmonisan hidup bersama yang sebelumnya sering menjadi kebanggaan kita sebagai masyarakat yang ramah dan saling peduli; masyarakat gotongroyong yang suka kerja bersama, bantu membantu dan tolong menolong untuk kebaikan bersama. Tampaknya kedewasaan kita sebagai suatu bangsa, yang telah memilih untuk hidup bersama dalam negara Republik Indonesia belum matang. Kita masih sering menggunakan konflik dengan kekerasan untuk menyelesaikan berbagai persoalan, yang seharusnya dapat diselesaikan dengan damai.
Fakta di atas memperlihatkan persaudaraan kebangsaan Indonesia sedang terkoyak. Tampaknya kita mulai lupa, bahwa kemerdekaan bangsa kita ini kita perjuangkan bersama-sama sebagai suaru bangsa, yakni bangsa Indonesia. Kita mulai lupa, bahwa kita adalah saudara sebangsa dan setanah air, seperti yang telah kita ikrarkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Kondisi ini perlu segera dipulihkan; kebencian dan permusuhan terhadap sesama warga bangsa dihentikan. dan kita harus segera merajut kembali persaudaraan kebangsaaan kita ini, agar pulih dan bahkan menjadi lebih kuat. Untuk itu, politik kebangsaan kita harus diperkuat, agar kita bangsa Indonesia mampu memelihara persatuan Indonesia. Kita akan memulai tulisan ini dengan persaudaraan kebangsaan Indonesia.
Persaudaraan kebangsaan Indonesia.
Persaudaraan kebangsaan Indonesia menyadarkan kita, bahwa masyarakat Nusantara adalah satu bangsa, yakni bangsa Indonesia. Persaudaraan kebangsaan Indonesia bukan suatu yang terjadi dengan tiba-tiba, tetapi hasil dari perjalanan hidup bersama dalam waktu yang panjang. Proses ini telah berlangsung sejak puluhan ribu tahun yang lalu, sejak bertumbuhnya kehidupan keluarga-keluarga manusia, berkembang tahap demi tahap dan masuk ke dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Persaudaraan ini harus terus dipupuk dengan selalu mengedepankan kepentingan bersama, penderitaan seseorang dapat dirasakan yang lain, dan kemudian bersama-sama mengatasinya. Sidang Raya XIV Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang berlangsung di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, pada 30 November sd 4 Desember 2004, dalam pesannya menyatakan agar warga gereja membangun kerjasama dengan semua lapisan dan golongan di dalam masyarakat atas dasar saling menghargai dan menjunjung tinggi jatidiri dan keyakinan masing-masing, dalam rangka bersama-sama mewujudkan satu negara bangsa yang kuat, adil, damai, dan tidak membeda-bedakan menurut suku, ras, maupun agama/golongan agama.
Hidup bersama dalam semangat persaudaraan adalah bagian dari tanggungjawab bersama bangsa Indonesia, sebagai suatu bangsa merdeka yang mendirikan dan menyelenggarakan suatu negara-bangsa, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berjuang mewujudkan kehidupan yang lebih baik, demokratis, damai dan adil di tengah lingkungan hidup yang lestari. Ketidakadilan dilawan dengan keadilan, ketimpangan ekonomi dikurangi, agar kemajuan bersama dapat diwujudkan. Perbedaan agama dan berbagai perbedaan lainnya tidak boleh dijadikan penghalang bagi kehidupan bersama yang damai, rukun, toleran, bantu membantu dan tolong menolong. Konflik yang terjadi antar berbagai kelompok masyarakat dapat diselesaikan dengan cara damai dan beradab, dan tidak perlu memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan. Dialog terbuka yang adil dan setara dalam semangat persaudaraan akan dapat menyelesaikan perselisihan. Dalam kehidupan kemasyarakatan, warga kaya memberikan sebagian kekayaannya membantu warga miskin, warga pintar menggunakan pengetahuannya membantu yang bodoh, yang kuat menggunakan kekuatannya menolong yang lemah, penguasa menggunakan kekuasaannya membantu yang tidak kuasa, warga sehat mengurus yang sakit, dan orang hidup mengurus yang mati. Dan kaum miskin tidak boleh bermalas-malasan, tetapi harus belajar dan bekerja lebih keras, agar kehidupannya berubah menjadi lebih baik.
Hidup bersama dalam suatu negara dapat terwujud kalau ada kesadaran akan cita-cita bersama, kesetaraan, kebebasan dan toleransi, dan dijiwai oleh semangat persaudaran, sebagai suatu bangsa yang telah memilih hidup bersama. Berbagai kelompok masyarakat bisa saja mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, atau bahkan bertentangan, tetapi kalau kehidupan bernegara mau diwujudkan, dialog harus dibuka untuk mendapatkan konsensus. Kesombongan kelompok harus dibuang, saling pengertian diutamakan dan dengan demikian hidup bersama dapat berkembang. Semua warganegara harus dapat berbagi rasa dan berbagi beban. Penderitaan seseorang atau suatu masyarakat dapat dirasakan yang lain, dan kemudian bersama-sama menanggulanginya. Hatta menawarkan kebersamaan melalui gagasan cita-cita tolong-menolong, yang telah tertanam dalam Merdeka Hatta mengungkapkan pemikirannya tentang:….cita-cita tolong-menolong! Sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa bersama, kolektiviteit. Kalau seseorang di desa hendak membuat rumah atau mengejakan sawah ataupun ditimpa bala kematian, maka ia tak perlu membayar tukang atau menggaji orang kuli untuk menolong dia. Melainkan ia ditolong bersama-sama oleh orang-orang sedesa. Dalam suatu negara, kalau warga kaya menikmati kekayaannya, dan warga miskin tetap menderita kemiskinannya, kehadiran negara tersebut tidak ada artinya bagi warga miskin. Kalau penguasa malang melintang dengan kekuasannya, dan yang lemah justru menjadi korban tingkah laku penguasa, kehadiran negara tersebut hanya sekedar menjadi alat penguasa, dan oleh karena itu dipertanyakan keberadaannya.
Persaudaraan kebangsaan Indonesia menyadarkan bahwa bangsa Indonesia itu ada, merupakan persekutuan manusia merdeka yang sederajat, dan bersatu menjadi bangsa Indonesia. Dalam kehidupan kenegaraan, berbagai kelompok masyarakat dalam suatu negara bisa saja mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, atau bahkan bertentangan, tetapi kalau kehidupan bersama mau diwujudkan, dibutuhkan dialog terbuka untuk mendapatkan kesepakatan. Hidup bersama dalam suatu negara dapat terwujud kalau ada kesadaran akan cita-cita bersama, kesetaraan, kebebasan dan toleransi, dan dijiwai oleh semangat persaudaran, sebagai suatu bangsa yang telah memilih hidup bersama; seberat apapun permasalahan dihadapi, karena masyarakat berjuang bersama beban itu menjadi ringan.
Pergerakan Nasional Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa perlawanan masyarakat dan raja-raja Nusantara akhirnya gagal; pemerintah kolonial Belanda justru semakin kuat, dan terus menjalankan perang kolonial untuk memperluas daerah kekuasaan, sehingga di awal abad ke-20, hampir semua wilayah Indonesia telah dikuasainya. Disadari, bahwa kegagalan perlawanan selama ini adalah akibat penggunaan cara perjuangan yang lemah. Kenyataan ini menghadirkan suatu komunitas kreatif di Indonesia, yang terdiri dari kaum terpelajar, yang melihat penguasa Hindia Belanda berlaku tidak adil, diskriminatif dan eksploitatif. Mereka menyadari bahwa Kerajaan Belanda tidak berhak memerintah di Indonesia. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat Nusantara adalah satu bangsa, yakni bangsa Indonesia, dan sama dengan bangsa-bangsa lainnya, berhak menjadi bangsa merdeka dan mendirikan negara sendiri. Dowes Dekker menyatakan bahwa kolonialisme pada hakekatnya adalah despotisme yang mengeksploitasi rakyat, dan oleh karena itu perlu dihapus. Hindia Belanda perlu diberi kemerdekaan dengan sistem politik demokrasi. Dalam masyarakat kolonial gerakan politik mengarah ke pelaksanaan kemerdekaan. Itu pula sebabnya mengapa Indische Partij menjadi organisasi pergerakan yang pertama, secara terbuka dan eksplisit menuntut kemerdekaan. Mereka mengubah cara melawan penguasa penjajah, dengan berjuang, belajar dan mengambil sebagian unsur-unsur Peradaban Barat. Tjipto Mangunkusumo menyatakan bahwa bangsa Indonesia perlu memanfaatkan pengetahuan Barat dan unsur-unsur ultural lain, sehingga dapat memperbaiki tingkat kehidupan. Dan sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahkan, terlebih dahulu perlu diselesaikan masalah politik.
Pergerakan Nasional Indonesia adalah proses pertumbuhan nasionalisme Indonesia, yang antara lain mewujud dalam berbagai organisasi pergerakan, melahirkan banyak tokoh pergerakan, dan menghasilkan banyak gagasan tentang Indonesia merdeka. Membangkitkan kesadaran nasional dan mendorong munculnya kemauan bersama untuk menjadi bangsa Indonesia. Pergerakan nasional Indonesia adalah suatu fenomena sejarah hasil integrasi dari berbagai faktor, yaitu sosial, kultural, ekonomi, dan politik. Pergerakan ini bisa saja dimulai dengan gerakan sosial, atau kultural, atau ekonomi, tetapi semua itu akhirnya bermuara pada gerakan politik, karena penyebab dari semua permasalahan itu adalah politik kolonial Belanda. Perilaku kolektif masyarakat dalam berbagai organisasi pergerakan nasional membuat organisasi tersebut menjadi wahana perjuangan politik. Kondisi ini mendorong proses integrasi kaum terpelajar[1], melintasi batas-batas profesi, golongan, daerah, etnis, dan agama. Meskipun banyak perbedaan di antara mereka, seperti perbedaan politik dan ideologi, tetapi kaum pergerakan komunikatif satu dengan yang lain. Komunikasi politik di antara kaum pergerakan cukup lancar, walaupun banyak pembatasan oleh penguasa kolonial; bahkan semakin represif penguasa kolonial, semakin kuat solidaritas antar organisasi pergerakan. Perjuangan kemerdekaan semakin terintegrasi, dan kaum pergerakan bersama semua komponen bangsa sepakat untuk segera merdeka.
Dimulai dengan tumbuhnya kesadaran sosial melihat penderitaan masyarakat, kemudian secara bertahap meningkat menjadi kesadaran politik. Penderitaan masyarakat dilihat sebagai akibat dari ketidakadilan penguasa kolonial, dan oleh karena itu penderitaan ini hanya akan dapat disingkirkan kalau kekuasaan negara berada ditangan bangsa Indonesia sendiri. Kesadaran ini mendorong kaum pergerakan mendirikan organisasi modern sebagai alat pergerakan nasional. Dr. Sutomo dan kawan-kawan mendirikan Budi Utomo (BU) di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908. Budi Utomo memperkenalkan kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern, yaitu organisasi yang mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota. Hampir semua pimpinan terkemuka dari gerakan-gerakan nasionalis Indonesia pada permulaan abad ke-20 pernah ada di Budi Utomo, atau paling kurang telah mempunyai kontak dengan Budi Utomo. Peranan Budi Utomo dalam kemajuan politik di Indonesia sangat besar, khususnya dalam mendorong terjadinya integrasi nasional. Itulah sebabnya mengapa hari kelahiran Budi Utomo tanggal 20 Mei disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dari sini tumbuh cita-cita pembentukan nasion Indonesia, dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda 1928, yang dipakai sebagai tonggak integrasi bangsa Indonesia.
Di negeri Belanda, para mahasiswa Indonesia membentuk Indische Vereeniging (IV) pada 1908; pada awalnya melaksanakan kegiatan sosial dan kebudayaan sebagai ajang tukar pikiran tentang situasi tanah air. Dalam perjalanannya IV berkembang menjadi perkumpulan yang mengutamakan masalah politik. Semangat kebangsaannya semakin kuat, dan pada 1922 berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging, dan pada 1925 berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Pimpinan PI yang menonjol pada waktu itu adalah Iwa Kusuma, Sumantri, J.B.Sitanala, Hatta, Sastramulyono, dan D.Mangunkusumo. Mereka juga menerbitkan majalah “Indonesia merdeka”. Pergantian nama perkumpulan yang terakhir menjadi Perhimpunan Indonesia dan penerbitan majalah “Indonesia Merdeka” memperlihatkan munculnya identitas bangsa Indonesia di luar negeri.[2] Sejak 1925 PI mengembangkan empat pikiran pokok yang mencakup. Pertama, Kesatuan Nasional: mengenyampingkan perbedaan berdasarkan daerah dan membentuk kesatuan aksi melawan Belanda serta menciptakan negara-bangsa Indonesia yang merdeka dan bersatu; Kedua; Solidaritas: pertentangkan kepentingan nasional dengan penjajah dan mempertajam konflik antara kulit putih dengan sawo matang; Ketiga, Nonkooperasi: kemerdekaan bukan hadiah dari Belanda, tetapi harus direbut dengan mengandalkan kekuatan sendiri; Keempat, Swadaya: mengandalkan kekuatan sendiri dengan mengembangkan struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang sejajar dengan administrasi kolonial. PI menggabungkan semua unsur ini sebagai satu kebulatan yang belum pernah dikembangkan oleh organisasi-organisasi sebelumnya. Mereka percaya bahwa semua orang Indonesia dapat menerimanya dan dapat menciptakan gerakan yang kuat dan terpadu untuk mewujudkan kemerdekaan.
Pergerakan Nasional Indonesia adalah perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Dibawah penjajahan Belanda masyarakat Indonesia sangat menderita, dan penderitaan ini menjadi tantangan yang membutuhkan jawaban yang setimpal; dan untuk menjawabnya muncul kaum pergerakan nasional yang menyadari bahwa penjajahan menjadi penyebab penderitaan. Komunitas kreatif[3] di Indonesia mampu mengidentifikasi tantangan yang menghambat kemajuan masyarakatnya, yakni penjajahan oleh bangsa lain. Masyarakat Indonesia adalah suatu bangsa, yang sama dengan bangsa-bangsa lain berhak untuk merdeka dan memiliki suatu negara berdaulat. Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan: Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Atas kesadaran tersebut, kaum pergerakan nasional Indonesia mengajak masyarakat luas berjuang menjadi bangsa merdeka dan mendirikan negara berdaulat. Pergerakan nasional memperjuangkan kesederajatan manusia, kemerdekaan, keadilan, dan mengarahkan pembentukan suatu unit geopolitik baru sebagai wadah bersama masyarakat Indonesia yang majemuk. Perlawanan terhadap penguasa kolonial dengan cara tradisional yang berideologi religio-magis dan kepemimpinan kharismatik telah gagal; dan dibutuhkan cara perjuangan modern, dan untuk itu perlu mengambil beberapa unsur Peradaban Barat. Habitat dan cara hidup perlu diubah; Hindia Belanda di ganti dengan Republik Indonesia; dan masyarakat feodalistik-hirarkis diubah menjadi masyarakat gotongroyong yang egaliter. Cara perjuangan tradisional diganti dengan cara perjuangan baru yang rasional dengan ideologi nasionalisme[4] dan organisasi modern.
Sumpah Pemuda.
Mei 1926, di Jakarta dilaksanakan Kongres Pemuda I, yang dihadiri oleh Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Islamieten Bond, dan Perkumpulan Pemuda Theosofi. Kongres Pemuda I ini mengetengahkan faham persatuan, kebangsaan, dan mempererat hubungan antar organisasi pemuda. Pada 26-28 Oktober 1928, di Jakarta dilaksanakan Kongres Pemuda II, yang menggabung semua organisasi pemuda menjadi satu kekuatan nasional. Kongres ini membawa semangat nasionalisme ke tingkat yang lebih tinggi, dan semua utusan yang datang mengucapkan sumpah setia “Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia”. Sumpah tersebut berbunyi sebagai berikut: 1. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; 2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; 3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dalam penutupan Kongres dinyanyikan lagu Indonesia Raya ciptaan W.R.Supratman, dan bendera Merah Putih juga dikibarkan mengiringi lagu kebangsaan itu, sehingga tercipta kesan yang mendalam bagi para peserta.[5] Lagu Indonesia Raya[6] yang dinyanyikan pada 28 Oktober 1928, kata Merdeka belum disebutkan, tetapi diganti dengan kata Moelia. Sumpah Pemuda, yang dicetuskan dalam Kongres Pemuda II, pada 28 Oktober 1928, adalah pernyataan terbuka tentang keberadaan bangsa Indonesia di tanah air Indonesia. Pernyataan terbuka ini disampaikan kepada masyarakat Indonesia; dan juga kepada masyarakat dunia, khususnya kepada penguasa kolonial Belanda.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Revolusi Indonesia dimulai dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, di Jakarta; dan sejak itu, kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan Indonesia bergerak dan berubah cepat. Pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia diwakili Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia; 18 Agustus 1945 negara-bangsa Republik Indonesia didirikan, dengan menetapkan UUD 1945 dan memilih Soekarno menjadi Presiden dan Hatta menjadi Wakil Presiden. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia bangun dari tidur lamanya, muncul ke permukaan sebagai bangsa merdeka yang mendirikan suatu negara berdaulat. Kesadaran nasional membuat masyarakat Nusantara berubah menjadi satu bangsa, yakni bangsa Indonesia; dan sebagaimana layaknya bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia berhak mendapatkan kemerdekaannya, dan mendirikan suatu negara berdaulat.
Pada awalnya adalah masyarakat egaliter, dengan hak dan martabat yang sama, dan oleh karena itu kepemimpinan yang berlaku adalah kepemimpinan primus inter pares (yang pertama dari yang sama). Tetapi pada perkembangan selanjutnya, sentralisasi kekuasaan politik menimbulkan diferensiasi kelas, dan sejak itu secara perlahan martabat manusia di buat berbeda. Tetapi beberapa abad terakhir ini, kekeliruan pembedaan martabat manusia ini disadari dan dikoreksi. Disadari dan diakui bahwa hanya ada satu martabat, yakni martabat manusia, dan hanya ada satu ras, yakni ras manusia. Kesadaran ini mendorong masyarakat berjuang mewujudkan negara yang memperlakukan manusia secara sama, dengan martabat yang sama, yakni martabat manusia, dan negara tersebut adalah negara demokrasi. Nilai kesetaraan, yang sempat dilupakan selama ribuan tahun, diberlakukan kembali. Perubahan tatanan kenegaraan ini adalah bagian dari perkembangan peradaban, dan merupakan capaian yang sangat mendasar, strategis, dan manusiawi. Sejarah umat manusia pernah melalui masa kelam dalam waktu yang sangat lama, terutama dengan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang membedakan martabat manusia. Tetapi sekarang ini, manusia kembali menerapkan nilai kesetaraan dalam kehidupan kenegaraan, dan hampir semua negara di dunia sekarang ini menggunakan sistem demokrasi. Puncak capaian suatu revolusi politik adalah negara-bangsa yang demokratis, damai dan stabil; dan Republik Indonesia telah mencapainya. Republik Indonesia adalah suatu negara-bangsa. Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB bertempat di rumah Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Gedung Perintis Kemerdekaan, di Jalan Proklamasi), oleh Sukarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia menyatakan: Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Puncak pencapaian peradaban di bidang politik adalah pendirian negara-bangsa yang demokratis. Negara adalah satu-satunya persekutuan manusia yang diberi kekuasaan menjalankan keputusannya dengan menggunakan kekerasan, di wilayah kekuasaan negara tersebut; dengan demikian negara bisa menjalankan fungsinya, antara lain mengatur ketertiban, memelihara keamanan dan menegakkan keadilan. Kekuasaan negara dibuat besar, karena dibutuhkan untuk mengatur masyarakat yang jumlahnya sangat banyak, dengan pemikirannya beraneka ragam, kepentingan yang tidak selalu sama, kekuatan berbeda, dan sebagian dari mereka punya kecenderungan berbuat jahat.
Kembali ke UUD 1945.
Dalam Sidang Konstituante timbul perbedaan mengenai dasar negara yang akan dituangkan dalam undang- undang dasar pengganti UUD Sementara, dan akibatnya Sidang Konstituante macet. Lembaga negara yang sudah bekerja sejak November 1956 hingga April 1959, belum berhasil menyusun undang-undang dasar yang baru. Oleh karena itu dalam pidato di depan Sidang Konstituante 22 April 1959, Presiden Soekarno menganjurkan agar memberlakukan kembali UUD 1945. Pada 30 Mei 1959 dilakukan pemungutan suara terhadap usul Pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Hasilnya ialah setuju 269 suara lawan tidak setuju 199 suara, dan anggota yang hadir 474 orang. Artinya, tidak tercapai dua pertiga suara seperti yang disyaratkan UUDS 1950 pasal 137 ayat (2) yang menyatakan: Undang-Undang Dasar baru berlaku , jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian disahkan oleh Pemerintah. Sesuai dengan ketentuan tata tertib Kostituante, diadakan pemungutan suara dua kali lagi. Pemungutan suara terachir dilakukan pada 2 Juni 1959, dan jumlah suara dua pertiga tetap tidak tercapai, dan keesokan harinya, 3 Juni 1959, Konstituante reses dan ternyata untuk selamanya. Untuk mencegah ekses politik akibat ditolaknya usul Pemerintah oleh Konstituante, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Letnan Jenderal A.H. Nasution atas nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu), mengeluarkan Peraturan No. Prt/Peperpu/040/1959 tentang Larangan Mengadakan Kegiatan-kegiatan Politik, yang berlaku mulai 3 Juni 1959, pukul 06.00. Pada 16 Juni 1959, Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI) Suwiryo mengirim surat kepada Presiden Soekarno, agar Presiden Soekarno mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Pada saat krisis Konstituante, Presiden Soekarno sedang berada di Tokyo, Jepang, dalam rangka kunjungan ke beberapa negara, dan kembali ke tanah air pada 29 Juni 1959.
Setelah mengadakan pertemuan dengan beberapa tokoh politik, beberapa menteri, dan Pimpinan Angkatan Perang, pada 5 Juli 1959 disusun rumusan yang kemudian dikenal sebagai “Dekrit 5 Juli 1959”. Dekrit ini dibacakan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 sore, dalam acara yang berlangsung sekitar lima belas menit di halaman Istana Merdeka di Jakarta, dan dihadiri oleh ribuan orang. Inti Dekrit 5 Juli 1959 ialah: 1.Pembubaran Konstituante; 2.UUD 1945 berlaku kembali; dan 3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pembentukan Dewan Pertimbangan Agung. Dalam waktu yang kritis, ketika keadaan negara membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, dan partai-partai politik sebagai keseluruhan tidak berdaya, Presiden Soekarno dan TNI muncul sebagai kekuatan politik yang mengatasi kemacetan itu. Gagalnya upaya kembali ke UUD 1945 melalui Konstituante dan rentetan peristiwa politik yang mencapai klimaks dalam bulan Juni 1959, membuat Presiden Soekarno sampai kepada kesimpulan bahwa: “keadaan ketatanegaraan telah membahayakan persatuan dan kesatuan negara, nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur”.
Reformasi Politik.
Reformasi politik di Indonesia adalah perubahan politik dari sistem pemerintahan otoritarian ke sistem pemerintahan demokrasi, dan berlangsung sejak pemerintahan Presiden Habibie. Reformasi Politik telah membawa banyak kemajuan dibidang politik, antara lain: Konstitusi menjamin hak asasi manusia; hak-hak politik dan kebebasan sipil dipenuhi; kebebasan pers dijamin; pemilihan umum berlangsung adil, bebas, kompetitif dan berkala; Presiden, gubernur, bupati, walikota, dan semua anggota legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum; militer mundur dari politik; dan Presiden hanya boleh dipilih satu kali lagi. Sistem Politik Indonesia di era reformasi ini lebih memperkuat prinsip check and balances, yang mencegah dominasi lembaga negara yang satu terhadap yang lain. Reformasi Politik telah mempunyai dasar yang jelas dalam UUD 1945 yang dari tahun 1999 sampai dengan 2002 telah mengalami empat kali perubahan. Perubahan UUD 1945 telah membawa banyak kemajuan dibidang politik, antara lain: konstitusi menjamin pemenuhan martabat manusia serta hak-hak politik dan kebebasan sipil; kebebasan pers; pemilihan umum yang adil, bebas dan demokratis; Presiden, gubernur, bupati, walikota, dan semua anggota legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum; militer mundur dari politik; dan masa jabatan Presiden dibatasi.[7] Menurut Jakob Tobing, Wakil Ketua PAH III BP MPR (1999 – 2000) dan Ketua PAH I BP MPR (2000 – 2002), setelah Perubahan UUD 1945 Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Kebebasan berpendapat, HAM, supremasi hukum dan sistem politik checks and balances telah dimeteraikan.[8] Ditinjau dari perspektif peradaban, revolusi politik di Indonesia telah berhasil mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa merdeka; dan menyelenggarakan suatu negara kebangsaan, yaitu Republik Indonesia yang demokrasi, damai dan stabil; dan kemajuan ini adalah suatu prestasi besar yang belum dapat diwujudkan oleh banyak negara di bumi ini.
Politik kebangsaan dipertahankan.
Politik kebangsaan harus terus dipertahankan, karena Republik Indonesia adalah negara–bangsa, dan tidak akan ada masa depan bersama di luar itu. Soekarno, dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menjelaskan panjang lebar tentang dasar kebangsaan, sampai pada kesimpulan bahwa negara Indonesia adalah negara kebangsaan, dan mengajak peserta sidang untuk mendirikansuatu negara kebangsaan Indonesia, dengan semboyan semua buat semua. Bukan buat golongan bangsawan maupun golongan kaya saja, tetapi semua buat semua. Oleh karena itu ia menawarkan dasar pertama ialah dasar kebangsaan. Bangsa Indonesia adalah seluruh manusia-manusia yang tinggal di semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian. Dengan mengutip Ernest Renan dan Otto Bauer, Soekarno sampai kepada kesimpulan bahwa bangsa Indonesia adalah sekelompok manusia yang mau bersatu, merasa diri bersatu, dan timbul karena mempunyai nasib yang sama, menempati satu kesatuan pulau-pulau diantara dua lautan yang besar yaitu Pasifik dan Hindia,dan diantara benua Asia dan Australia.
Pembukaan UUD 1945 memuat istilah bangsa dalam alinea pertama, ketiga dan keempat Dalam alinea pertama:……kemerdekaan ialah hak segala bangsa…..Dalam alinea ketiga:. ……..,supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Dan dalam alinea keempat:. …Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia……, mencerdaskan kehidupan bangsa…….., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia…. Berulang-ulang istilah bangsa dimuat dalam Pembukaan UUD 1945 menunjukkan begitu pentingnya kebangsaan Indonesia dalam kehidupan negara Republik Indonesia. Tetapi kenyataan berkata lain, sampai sekarang sering terjadi permusuhan antara berbagai kelompok masyarakat, baik karena perbedaan suku, agama, golongan, tempat tinggal dan berbagai perbedaan lainnya. Sikap permusuhan seperti ini menjadi ancaman terhadap kesatuan dan kelangsungan hidup bangsa. Rasa senasib-sepenanggungan itu sudah lenyap, cita-cita nasional sering dilupakan, digantikan dengan keserakahan yang tidak pernah terpuaskan. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan, sangat membahayakan bagi keutuhan dan kemajuan bangsa. Kita perlu banyak belajar dari para pendidiri bangsa, yang dapat membuat kesepakatan untuk hidup bersama dalam negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, walaupun mempunyai banyak perbedaan. Rakyat Indonesia harus ingat, bahwa semuanya adalah bagian dari satu bangsa yang merasa diri satu, mempunyai cita-cita kebangsaan yang sama, serta mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama di negara ini. Dan perbedaan tidak boleh dijadikan alasan untuk bermusuhan.
Pemilihan Umum dibuat lebih merakyat.
Masa depan demokrasi di Indonesia cukup baik; proyeksi politik Indonesia tahun 2045 , saya gambarkan sebagai berikut: demokrasi di Indonesia akan semakin mantap; jumlah partai politik akan berkurang menjadi 2 sd 4 partai dengan pelayanan yang semakin merakyat; para politisi semakin cerdas dengan kinerja politik semakin baik; mekanisme checks and balances semakin mantap; dialog politik dan partisipasi politik masyarakat meningkat kualitasnya; politisasi agama berkurang; anggota TNI dan Polisi memperoleh kembali hak pilihnya.; sentimen premordial di bidang politik berkurang dan pilihan politik lebih berdasarkan prestasi kerja partai politik dan para calon.
Pemilihan Umum dibagi menjadi dua bagian, yaitu Pemilihan Umum Nasional untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR RI dan DPD RI; dan Pemilihan Umum Lokal untuk memilih Kepala Daerah dan anggota DPRD; dan kedua Pemilihan Umum ini dilaksanakan pada waktu yang berbeda. Pemilihan anggota DPR RI dan anggota DPRD dilaksanakan dengan sistem distrik banyak anggota (multi member district system), agar pemilih hanya memilih calon anggota DPR RI dan calon anggota DPRD; dan partai politik hanya mengusulkan calon anggota DPR RI dan DPRD, tetapi tidak ikut dipilih. Dengan demikian calon anggota DPR RI dalam tiap distrik tidak terlalu banyak. Pemilihan seperti ini akan lebih sederhana, karena suara hanya diberikan kepada calon, dan tidak ada suara untuk partai politik. Sistem ini akan lebih demokratis; pemilih hanya memilih nama calon; dan partai politik tidak akan berani mengusulkan calon terlalu banyak dalam masing-masing distrik, karena kalau terlalu banyak bisa tidak ada yang terpilih. Misalnya Indonesia dibagi kedalam 70 distrik pemilihan anggota DPR RI, dengan jumlah kursi untuk tiap distrik berkisar dari 4 sd 15 kursi. Dan akan lebih demokratis kalau pada tahun 2045 jumlah anggota DPR RI ditingkatkan menjadi sekitar 700 orang, hingga semua kelompok masyarakat/profesi bisa terwakili di DPR RI. Kalau ada anggota DPR RI atau anggota DPRD meninggal dunia atau berhalangan tetap, penggantinya dipilih lagi dalam pemilihan umum antar waktu; dan partai politik hanya mengusung calon.
Penulis: [dr. Merphin Panjaitan, M. Si – Penasehat MUKI]