SUARAMUKI.Salemba-Jakarta. Kata ini dulu begitu menakutkan bagi banyak orang, membicarakannya saja hanya dalam ruang senyap tanpa suara. Dulu ayah saya punya satu buku bersampul merah dan itu disembunyikan, tidak untuk dibaca anak-anaknya, judulnya IBUNDA dan baru setelah dewasa aku baru mengerti kenapa buku itu tersimpan tersembunyi. Maklum zaman tak memberikan ruang untuk demokrasi kala itu.
Hari ini semakin dalam mengenal kata itu pada seminar tentang Ateis yang diselenggarakan Lembaga Alkitab Indonesia, senin 8 Juli 2019. Narasumber memberikan tiga judul makalah: Memahami Ateisme (Romo Dr. Simon Petrus), Menjernihkan Iman (Pdt Dr. Marthin Sinaga) dan Ateisme siapa takut? (Trisno Sutanto)
Ateis, bisa saja menjadi pilihan saat ini bagi para orang muda seperti percakapan ibu dan anak. Si-anak berkata “kenapa kita terus berdoa, tetapi tidak dijawab Tuhan, lebih baik jadi ateis saja.” katanya dengan lugas pada ibunya.
Itulah sebabnya memahami Ateis menjadi penting untuk dikomunikasikan sehingga dapat dilihat latar belakang munculnya pendapat tentang ateis itu sebagai pembelajaran. Injil harus juga digemakan dengan baik tentang iman dan percaya agar jemaat tidak terseret pada pemahaman dan kemudahan yang ditimbulkan paham ateis.
Dalam diskusi yang hangat itu juga berkembang istilah Kedaulatan Allah, yaitu Allah adalah yang kuasa yang memberi manusia kebebasan dan kebebasan itu disalahgunakan oleh manusia untuk melawan dan memberontak kepada Allah yang Mutlak itu. Kebebasan manusia itu pemberian Allah yang Mutlak yang harusnya dijaga agar berguna untuk membangun iman percayanya kepada Tuhan dan bukan sebaliknya.
Saat ini masyarakat disesakin dengan agama yang bisa saja membuat masyarakat kita saat ini menjadi muak tentang agama. Betapa agama menjadikan hidup semakin sulit dengan aturan-aturannya yang semakin tidak relevan. Agama sudah mengatur semua cara hidup, pakai baju, ke rumahsakit, bikin rumah, pariwisata, semua sudah berbau agama tanpa mempedulikan kebebasan tiap-tiap orang.
Kalau ada pertanyaan “masihkah percaya ada Tuhan?” bagaimana kita menjawabnya. Ke depan bisa saja banyak orang tidak lagi percaya akan adanya Tuhan, karena kemajuan ilmu pengetahuan dapat menggugurkan dalil-dalil agama yang berkembang saat ini. Sebagai contoh biasanya sebelum berpergian pada waktu yang lalu berdoa kepada Tuhan mohon keselamatan dan bimbingan, tetapi saat ini orang tidak perlu berdoa malah mencari info lewat gugel dan jawabannya malah lebih akurat dari doa sekalipun. Mungkin saja pada masa depan para romo dan pendeta dapat digantikan oleh robot-robot. Gejala seperti itu sudah ada saat ini dengan munculnya “gereja online.”
MUKI hadir dalam diskusi dimaksud diwakili Sekjen Ega Mawardin bersama Ketua Umum API Brigjend Harsanro Adi dan beberapa aktifis lainnya. Kehadiran dalam diskusi bertujuan membangun narasi yang sama tentang Ateis untuk kepentingan pelayanan.
Intisari makalah dipublikasikan melalui situs MUKI di www.muki.or.id. Semoga semua dapat mendalami Ateis agar tidak lagi ada rasa takut seperti jaman dulu ketika masih kanak-kanak.
Penulis: [MZ]
Mantul Pak Sekjen. Kemuliaan bagi Tuhan yang menciptakan langit dan bumi serta seluruh isinya. Dan kita ada sebab Tuhan ada. Kita akui Tuhan Allah Sang Pencipta Agung. Setiap orang memuji Dia. Kita doakan dan usahakan agar orang-orang yang belum mengakui Tuhan sebagai Khalik Pencipta segera berubah menjadi manusia baru, anak Tuhan yang selalu memuji dan memuliakan Dia. Amen