Berbicara kemajuan dan pembaharuan gereja selalu menarik untuk di percakapkan. Demikian juga dengan Gereja Batak, sebagai gereja yang memiliki jemaat terbesar di Indonesia. Tentu saja membenahi diri melalui berbagai seminar dan lokakarya, termasuk seminar dengan topik ”Masa Depan Gereja Batak dan Gereja Batak Masa Depan”. Seminar ini dihadiri oleh DPP MUKI (Majelis Umat Kristen Indonesia) yang diwakili Wasekjen Pdt. Joice Ester Raranta, M. Th, Wakil Ketua Departemen Hubungan antar Lembaga Faransina Ndolu, M.Pdk dan Bendum Koperasi Muki Pdt. Djane Tando, M. Th. Ada tiga tulisan sebagai bahan seminar yaitu
- Masa Depan Gereja Batak dan Gereja Batak Masa Depan, Pdt. Marudut Manalu;
- Masalah Kepemimpinan dan Pemimpin dalam Gereja Batak, Pdt. Dr. Richard Daulay, M. Th, MA;
- Mengembangkan Gereja-gereka Batak menjadi Gereja yang Misioner, Pdt. (em.). Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D., Guru Bear STFT Jakarta.
Muki akan mempublikasikan secara berturut-turut dalam media muki www.muki.or.id setiap hari Rabu, semoga bermanfaat.
I. Mengapa Jabatan Gereja Diperebutkan
Barangkali di Indonesia, bahkan di dunia, Gereja-gereja bataklah yang paling bising setiap terjadi pergantian kepemimpinan, seperti pemilihan Ephorus dan Bishop. Di Gereja- gereja di wilayah lain (Jawa dan Indonesia Timur), setiap terjadi pergantian kepemimpinan tidaklah seheboh seperti di Sumatera Utara.
Jabatan bagi orang Batak memang memiliki nilai budaya yang sangat tinggi, sesuai dengan falsafah hidup orang batak yang sangat gigih memperjuangkan nilai budaya Batak: Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon. Inti dari ketiga nilai ini sebernarnya adalah ‘’power’’ (kuasa). Masalahnya dalam jabatan pimpinan di gereja-gereja Batak itu melekat ‘’kuasa’’ yang besar, sehingga jabatan itu menjadi sesuatu yang sangat ‘’menggiurkan’’ untuk direbut, melalui mekanisme pemilihan. Dimanakah letaknya kuasa itu dalam Gereja-gereja Batak? Saya melihat bahwa kuasa seorang Ephorus atau Bishop terletak pada hak dan wewenang untuk menentukan ‘’penempatan’’ (appointment) para pendeta di jemaat-jemaat dan atau lembaga-lembaga Gereja. Dalam system organisasi gereja dikenal ada dua jenis proses penempatan yang dikenal dengan istilah ‘’sending pastors’’ dan ‘’calling pastors’’.
Gereja yang menganut sending pastors ialah gereja yang memberikan hak dan wewenang kepada Pemimpinnya (Ephorus, Bishop, Kabinet, Majelis Pusat) untuk menempatkan pendeta ke jemaat-jemaat, tanpa meminta pertimbangan dari jemaat si penerima dan pendeta yang bersangkutan. Praktik penempatan seperti ini hingga sekarang masih diberlakukan di gereja-gereja HKBP, GMI, GKPI, HKI, dan lain-lain. Khusus di GMI, system sending pastors seperti itu masih diberlakukan untuk jemaat-jemaat dan pendeta berlatar belakang Batak, sedangkan untuk jemaat-jemaat dan penderta berlatar belakang Tionghoa sudah harus berdiskusi dengan jemaat melalui Majelis Umat yang bersangkutan.
Sedangkan Gereja yang menganut sistem ‘’calling pastors” ialah Gereja yang memberikan wewenang kepada jemaat untuk ‘’merekrut’’ (memanggil) pendeta yang akan bertugas di jemaatnya. Pimpinan Gereja atau Krtua Sinode hamper tidak ada hak dan kuasa untuk menempatkan pendeta. Gereja-gereja GKI, GKJ, GKP dan lain-lain menganut sistem calling pastor ini, seperti EvangelischemKirche in Deutschland (EKD) di jerman.
II. Mengapa Banyak orang ‘’Hijrah” ke Gereja Kharismati
Sebagai seorang pendeta yang sering di undang berkotbah di beberapa Gereja kharismatik seperti Gereja Bethel Indonsia (GBI), saya menemukan bahwa mayoritas umat yang berkebaktian di Gereja-gereja kharismatik itu kebanyakan adalah orang-orang Batak (Toba, Karo, Simalungun). Di GBI Medan Plaza misalnya yang setiap hari minggu diadakan lima gelombang kebaktian dengan jumlah umat yang hadir rata-rata 10.000 orang (hanya di satu jemaat), maka 80-90 % umat adalah orang Batak. Apakah mereka sudah terdaftar sebagai anggota menetap di Gereja GBI itu? Sebagian besar ternyata tidak. Mereka hanya tertarik mengikuti kebaktian di GBI itu ketimbang di Gereja asalnya, mengapa?. Menurut teori pertumbuhan gereja, pada era ‘’post-denominationalisme” sekarang ini ada beberapa factor yang merupakan daya tarik sebuah gereja terutama di perkotaan. Pertama, faktor lokasi gereja, kedua factor ruangan kebaktian, ketiga factor hospitality (Keramah-tamahan), keempat factor ibadah menyangkut lagu-lagu, music, song leaders, dan pemimpin ibadah yang mampu menciptkan suasana yang sangat menyentuh kerohanian umat, dan yang kelima adalah faktor kotbah yang berbobot.
Di awal abad 21 yang dikenal dengan ‘’era disruptif’’, bukan hanya gereja Batak yang mengalami stegnasi.Hampi semua gereja arus utama di seluruh dunua mengidap persoalan yang sama, dimana anggotanya semakin menurun, generasi muda gereja lambat laun semakin sedikit karena merasa tidak cocok dengan gereja tradisonal.
Agaknya benar juga pernyataan dan tantangan tyang dilontarkan mantan Ephorus HKBP Pdt. Dr. S.A.E. Nababan, pada Oktober 2017 yang lalu, dalam sebuah seminar memperingati 500 tahun reformasi bertempat di HKBP Kebayoran Baru, yang isinya ‘’Saudara-saudara para pendeta HKBP, jangan merasa bangga dulu apabila anda melihat bahwa setiap kebaktian hari Minggu gereja anda penuh. Itu baru sekitar 30% dari umat anda’’! Memang salah satu kelemahan gereja adalah, kendati anggotanya sudah banyak hilang dan pindah ke gereja yang lain, dia tetap merasa bahwa gerejanya tetap merupakan gereja besar (HKBP nabolon I; The Great United Methodist Chrush).
III. Bagaimana Jalan Keluarnya?
Apa yang harus dilakukan oleh Gereja-gereja Batak untuk menjadikan Gereja Batak tetap besar, eksis dan berperan di tengah bangsa. Gereja-gereja Batak sudah harus melakukan “reformasi’’ dan ‘’restrukturisasi’’ di bidang kelembagaan dan organisasi secara komprehensip, sehingga faktor “power” (kuasa) yang melekat pada jabatan structural harus dieleminasi, paling sedikit di reduksi. Karena yang namanya kuasa, baik dalam Negara maupun dalam gereja, hukumnya sama saja.
Belakangan ini semakin banyak tokoh-tokoh Gereja yang mengusulkan agar cara pemilihan Pemimpin Gereja dilakukan dengan cara ‘’Buang undi’’ (manjomput nasinurat). Ternyata Gereja HKI sudah mempraktikkan cara ini dalam sinodenya yang baru. Hal yang positif dari site mundi ini antara lain: tidak terjadi blok-blokan; tidak tahu siapa memilih siapa, tim sukses dan kampanye hilang, tidak ada lagi ‘’janji-jani sorga’’, peserta sinode lebih banyak berdoa ketimbang berkampanye. Sisi buruknya menurut pengalaman HKI antara lain: muncul rasa sombong rohani, karena merasa dipilh Tuhan, umat cenderung menharapkan terlalu banyak dari pemenang, ternyata kinerjanya biasa-biasa saja sehingga umat merasa kecewa.
Selain melakukan reformasi kelembagaan dan kesisteman dalam tata kelola organisasi, juga harus terbuka untuk melakukan inovasi dalam tata ibadah dan kualitas pemeritahuan Firman. Bagi orang BATAK, kotbah sangat menentukan. Jika ditanya orang Batak apa tujuannya pergi ke Gereja, maka jawabnya adalah untuk mendengar firman Tuhan (manangihon hata ni debata).
Penulis:[ Pdt. Dr. Richard Daulay, M. Th., MA, Pendeta di Gereja Methodist Indonesia]