Jakarta menyambut tahun baru 2020 sungguh diluar kebiasaan, masyarakat ibu kota negara ini disibukkan datangnya bencana banjir yang menggenangi sebagian wilayahnya. Dimulai dari hujan lebat sepanjang hari di akhir tahun mendahului banjir kiriman yang datang sehari sesudahnya. Dan banjir yang diluar prediksi itu mengacaukan seluruh acara dan perayaan menyambut tahun baru yang jauh-jauh hari telah dirancang dengan sukacita oleh banyak keluarga untuk kumpul bersama mengucap syukur walau nyatanya membawa bencana.
Tokoh paling populer yang namanya selalu dikaitkan dalam peristiwa banjir ibukota negara tentu saja sang Gubernur Jakarta Anis Baswedan. Gubernur menjadi pembicaraan warganya dari sekedar bahan olok-olok dan caci maki sampai pada sederet sumpah serapah dialamatkan kepadanya. Maklum sang Gubernur terkenal dengan tata katanya yang rapi, santun serta dikagumi walau sebagian orang baru menyadarinya kemudian setelah berbuahkan bencana.
Sebut saja tentang cerita air yang dikisahkan Gubernur: bahwa dimana-mana di seluruh dunia air yang jatuh dari langit itu di masukkan ke dalam tanah, bukan dibuang ke laut itu telah melanggar sunatulah dan karena Gubernur pikirannya menunggu air masuk dalam tanah serta tidak telaten dalam mengelolahnya akhirnya Jakarta banjir kebanyakan air. Beberapa waktu sebelumnya ada pernyataan unik bahwa banjir Jakarta akibat dari air dari langit yang antri masuk ke dalam tanah, dan karena antriannya panjang maka kawasan Senayan City terendam air lebih dari selutut orang dewasa. Bahkan dalam riuhnya penanganan banjir ada-ada saja pernyataan Gubernur yang semakin miris dengan menyebut banjir itu disukai anak-anak karena mereka bisa bermain dan berenang dengan kegembiraan. Pernyataan sang Gubernur kali ini ibarat badut yang melawak di tengah keputus-asaan karena tidak lagi tahu apa yang mesti dikerjakan.
Hal yang juga populer dikalangan masyarakat di tengah gemuruhnya air yang disebagian tempat tingginya sudah melampauhi atap rumah ini adalah kosa kata normalisasi vs naturalisasi. Ini juga tata kata indah sang Gubernur yang mengembangkan cara penanganan banjir dengan konsep naturalisasi sebagai hasil pemikiran cerdas waktu kampanye pilkada Jakarta. Gubernur sesumbar dengan bangga bahwa hasil naturalisasi dapat dilihat pada akhir tahun 2019 dan celakanya ocehan sang Gubernur ibarat menepuk air ditempayan memercik pada muka sendiri dan anehnya sang Gubernur ngeles terus menerus dengan permainan tata kata.
Satu dari warganet mencoba mencari arti dari kata yang disengketakan tentang penanganan banjir model normalisasi ala Ahok vs naturalisasi ide cerdas gubernur Anis dalam kamus bahasa Indonesia dan ternyata arti dari normalisasi adalah tindakan menjadikan normal kembali atau tindakan mengembalikan kepada keadaan yang semula. Sedangkan arti naturalisasi adalah sesuatu yang bukan asli dijadikan seolah-olah asli. Kalau permasalahan banjir Jakarta istilah mana yang lebih tepat digunakan? Maka jawabannya adalah lebih tepat saran Presiden agar sampah harusnya jauh-jauh hari dibersihkan, atau ikut saran Menteri Basuki lakukan normalisasi pada sungai yang sudah dimulai sebelumnya. Lalu apa jawab Gubernur? Seperti biasa, bisanya hanya menata kata dengan santun, sementara korban banjir menjerit mohon bantuan yang terlambat datang dan penyakit sudah mulai mendera.
Dan banjir tentu saja tak membutuhkan tata kata, tak membutuhkan silat lidah dari sang Gubernur dan aparatnya yang terpogoh-pogoh menjawab setiap tanya warga. Banjir membutuhkan tempat aliran yang pasti dan tertata agar ia bisa lewat dengan cepat tanpa harua antri lebih dulu menuju laut. Dan banjir tak perlu dimasukkan ke dalam tanah kelamaan jalannya dan jika keinginan banjir hanya segera dipindahkan kelaut maka yang diperlukan adalah normalisasi sungai bukan naturalisasi. Karenanya Jakarta membutuhkan Gubernur yang pinter menata kota, bukan Gubernur yang bodoh seperti yang muncul dialat pencari google, jika iseng-iseng mencari siapa nama Gubernur bodoh di dunia.
Ega Mawardin ll Sekjen MUKI