Keterlibatan rakyat dalam menentukan dan memilih pemimpinnya merupakan salah satu indikator berjalannya proses demokratisasi, hal ini baru dirasakan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pengganti Undang–Undang No 32 Tahun 2004. Pada masa sebelumnya, Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui perwakilannya yang duduk di lembaga perwakilan/DPRD. Mekanisme seperti ini dirasakan kurang mewakili dan mencerminkan aspirasi rakyat. Salah satu penyebabnya adalah rakyat tidak mengetahui kapasitas dan kualitas calon pemimpin, dan melemahkan aspek akuntabilitas dan transparansi sebagai syarat terwujudnya good governance (pemerintahan yang baik). Proses demokrasi di Indonesia memasuki babak baru dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah, yang di dalamnya mengatur tentang mekanisme pergantian kepemimpinan di daerah, yaitu Pemilihan Kepala Daerah yang diatur dalam Undang-Undang sebagaimana disebutkan dalam pasal 62 UU Nomor 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Panggung Politik di Indonesia yaitu Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2018 akan segera dimulai. Calon-calon kepala daerah telah melakukan pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan sudah diumumkan nama-nama paslon untuk kepala daerah baik daerah tingkat I maupun dan tingkat II. Pilkada akan digelar di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota pada tahun 2018. Namun baru selesai satu tahapan pilkada, beberapa calon kepala daerah malah tersangkut kasus hukum. Bukannya sibuk menyusun program pembangunan 5 tahun ke depan sebagai bahan persiapan kampanye, malah beberapa calon dari mereka ini harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK).
Dikutip dari situs media onlile kompas.com menyebutkan beberapa calon kepala daerah yang ikut pilkada 2018 terkena OTT oleh KPK antara lain:
- Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko ditangkap pada 3 Februari 2018 diduga menerima suap terkait jabatan di Pemkab Jombang.
- Marianus Sae ditangkap pada 1 Februari 2017 diduga menerima suap dari Wilhelmus terkait sejumlah proyek di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
- Bupati Subang Imas Aryumningsih ditangkap dalam operasi tangkap tangan diduga menerima suap dari pengusaha bernama Miftahhudin.
Banyaknya kepala daerah yang tersandung masalah korupsi dan suap, nampaknya berkaitan dengan pilkada langsung yang menguras harta calon kepala daerah. Hasil kajian KPK atas pendanaan Pilkada 2015 menunjukkan, sebanyak 51,4 persen (responden kajian KPK yang merupakan bekas calon kepala daerah) mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kas (uang tunai, tabungan, dan deposito) mereka. Bahkan, 16,1 persen mengeluarkan dana kampanye melebihi total harta yang mereka cantumkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Selain itu, 56,3 persen responden mengatakan tahu bahwa donatur kampanye mengharap balasan saat calon kepala daerah terpilih. Sebanyak 75,8 persen responden mengatakan akan mengabulkan harapan donatur. Sebanyak 65,7 persen donatur menghendaki kemudahan perizinan usaha dari calon kepala daerah ataupun anggaran di daerah (Kompas, 29 September 2016). Selain membutuhkan dana besar untuk kampanye calon kepala daerah juga membutuhkan dana besar untuk membeli “perahu” kepada partai pengusung, biaya survei dan merancang strategi kampanye.
Mangamati kasus-kasus yang terjadi dalam pilkada sebagaimana dijelaskan diatas,pengaruh biaya yang besar menyebabkan kepala daerah cenderung melakukan korupsi. Seharusnya pilkada di Indonesia yang banyak di apresiasi media luar, mampu membangun kedamaian dan investasi pembangunan untuk kesejahteran rakyat. Fenomena yang terjadi secara beturut-turut kasus OTT, berbanding terbalik dengan penilain masyarakat luar dan harapan semua pihak. Hal ini semestinya tidak perlu terjadi kalau semua pihak memegang teguh asas-asas pilkada yang diatur dalam UU Nomor1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang secara eksplisit diatur dalam pasal 2 dan 3 ayat (1) dan (2) yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Tetapi dengan fakta yang terjadi, maka perlu sebuah mekanisme pemilihan untuk mendukung asas-asas Pilkada sehingga dapat meminimalisirmasalah korupsi ataupun suap bagi calonkepala daerah. Dengan kejadian seperti ini diharapakan Pemerintah, Lembaga pelaksana Pilkada dan Partai Politik dapat duduk bersama untuk menentukan mekanisme dan syarat-syarat peserta Pilkada yang murah dan berkualitas, sehingga pos-pos yang biasanya menggunakan dana besar dapat dihilangkan.
Ada empat kategori biaya yang memerlukan dana yang besar seperti 1) Biaya pendekatan untuk mengambil “Perahu”; 2) Biaya Survey dan Konsultan Politik; 3) Biaya Kampanye Terbuka dan Tertutup dan 4) Biaya Operasional Tim Sukses/Relawan yang semuanya ditanggung oleh calon.
- Biaya pendekatan untuk mengambil perahu, sangatlah mungkin tidak usah membayar seperti yang disinyalir orang selama ini.Dengan cara membuat sebuah aturan bahwa calon kepala daerah yang diusulkan sebuah Partai harus melalui kader dengan minimal keanggotaan di Partai tidak kurang 5 (lima) tahun dan menjadi pimpinan Partai di daerah tersebut. Kalau ini sudah menjadi ketentuan, maka semua partai harus mempersiapkan siapa yang akan menjadi ketua Partai dan otomatis menjadi calon kepala daerah.Kalau Partainya memenuhi thresholdparliamentary dapat langsung mengusulkan calon, tetapi bisa bergabung dengan Partai lain kalau tidak memenuhinya dan tinggal menentukan siapa kepala atau wakil kepala daerah yang akan di di usung.
- Biaya Survey dan Konsultan Politik, sebenarnya ini tidak dibutuhkan lagi kalau ayat (1) diatas sudah menjadi ketentuan dalam pelaksanaan Pilkada. Kalau partainyasudah merakyat artinya Partai yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat, pasti paslon tidak membutuhkan survey dan konsultan, karena Partainya sendiri mampu melihat kekuatan di daerah dan peluangnya.
- Biaya Kampanye Terbuka dan Tertutup, yang diatur dalam Undang-undang nomnor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah, dimana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1)huruf a dan huruf b (pertemuan terbatas, tatap muka dan dialog) didanai dan dilaksanakan olehPartai Politik dan/atau pasangan calon. (2b) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1)huruf d dan huruf e (penyebaran bahan kampanye dan pemasangan alat peraga) dapat didanai dan dilaksanakanoleh Partai Politik dan/atau pasangan calon. BIAYA INI SEBENARNYA SUDAH DICOVER oleh KPU, tetapi karena dalam Undang-undangnya masih memungkinkan dibuat oleh calon yang akhirnya membutuhkan biaya, maka para calon berlomba menjual konsep melalui media tatap muka dan tertutup. Kalau aturannya dibuat tidak lagi dilakukan oleh paslon dan cukup oleh KPU, maka paslon tidak mencari biaya untuk itu (ibarat kampanye dan adu program di acara TV dan Radio).
- Biaya Operasional Tim Sukses/Relawan yang semuanya ditanggung oleh calon, ini hampir sama dengan konsultan yang sebenarnya sudah tercover oleh tingginya elektabilitas partai di Daerah pemilihan, sehingga tidak membutuhkan dan memikirkan biaya untuk itu. Karena sebenarnya disetiap TPS sudah ada petugas PPK, PPS dan KPPS di tambah anggota2 partai yang di Kelurahan dalam mencermati pelaksanaan pemilihannya.
Apabila ini semua mampu di akomodir oleh pemangku kepentingan untuk suksesnya pemilihan kepala daerah khususnya untuk 5 (lima) tahun kedepan bukan tidak mungkin, persoalan suap menyuap akan hilang dan Pilkada semakin berkualitas dan tidak lagi mendengar, melihat ada calon kepala daerah yang tertangkap OTT, yang tentunya Pemerintah harus menerapkan Low inforcement.
Terimakasih, Sukses Indonesia, Sukses Pilkada, Pileg dan Pilpres sebagai wujud pelaksanaan pesta demokrasi demi pembangunan Bangsa untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
*Rumbung Pasaribu, SH., MH. Pembina Aliansi Pemberdayaan Generasi Muda (APGM)., Wakil Ketua Bidang Hukum SJ. Sekretaris DPW-MUKI DKI Jakarta., Dosen Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular.
Penulis: [Rumbung Pasaribu]