Sadar atau tidak dalam banyak hal termasuk dalam bertingkah laku kita membutuhkan dan memakai ukuran. Kita sering menilai baik atau tidak baik, tinggi atau rendah, enak atau tidak enak. Baik penilaian itu benar atau tidak selalu menjadi acuan, ukuran. Dalam hidup dan perilaku kita dipakai sebagai acuan, ukuran atau meteran, berbahagialah kita karena itu berarti kita dapat menjadi teladan. Tetapi menjadi ukuran dan teladan sering tidak mudah, lelah, dan tidak enak. Disebuah kota, hiduplah seorang pria yang sehari-harinya mencari nafkah dengan membuat roti. Dia membuat dan menjual rotinya sendiri, dan menjadi seorang penjual roti yang sangat dikenal wajahnya.
Suatu hari, dia membeli dari seorang pria tua yang juga tinggal dikotanya. Dia membeli satu kilogram mentega kualitas terbaik dan membawanya pulang untuk diolah menjadi roti paling lezat untuk para pelanggan. Namun entah kenapa, ada pikiran aneh yang tiba-tiba terbesit di pikiran penjual roti itu.
Dia merasa tak yakin dengan bobot mentega yang baru saja dibelinya dari pria tua itu. Alhasil, begitu sampai dirumah, dia menimbangnya dengan alat canggih yang dimilikinya. Hasilnya benar saja, berat mentega itu tak sampai satu kilogram beratnya.
Hal ini jelas membuatnya marah, dan merasa diperlakukan tidak adil. Merasa sakit hati, dia pun langsung melaporakan penjual mentega itu ke pengadilan. Si penjual roti berharap hakim bisa memberikan keadilan padanya, yang bnar-benar merasa dirugikan.
Persidangan pun berjalan, dan hakim mulai menanyai motif penjual mentega itu melakukan kecurangan. Penjual mentega itu mengakui bahwa dia memang tidak memiliki timbangan yang bagus sebagai patokan dagangannya. Hal ini jelas membuat hakim semakin curiga dan menanyakan alat apa yang biasa digunakan penjual mentega untuk menentukan berat dagangannya.
‘’Hakim yang terhormat, saya memang tidak punya alat, tapi saya punya patokan untuk menentukan berat dagangan saya. Sebelum saya menjual mentega, saya telah membeli roti dari penjual roti yang menuntut saya itu, dengan berat satu kilogram. Berpatok pada berat roti itulah saya membagi mentega saya setiap kilogramnya. Jadi kalau ada yang harus anda salahkan, harusnya ya penjual roti itu,’’ ulas penjual mentega.
Dari kisah ini kita dapat memetik satu kesimpulan, bahwa kita selalu memberikan ukuran yang dipunyai orang lain, bukan melihat ukuran diri kita sendiri. Jangan kita menghakimi supaya kita tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kita pakai untuk menghakimi orang, kita akan dihakimi dan ukuran yang kita pakai akan di ukurkan kepada kita. Sekali lagi saya ingatkan kepada saudara jangan kita selalu menghakimi, bila kita hidup di dalam Tuhan dan mengaku sebagai anak-anak Tuhan, karena hidup anak-anak Tuhan selalu teladan.
Penulis: [Djasarmen Purba - Ketum MUKI]