Mengakhiri perjalanan hidup di dunia yang fana dan memulai hidup baru di dunia orang mati, harusnya itu adalah hak Ilahi, sang pencipta tubuh yang berasal dari debu tanah. Tak seorangpun dapat mengambil- nya, juga termasuk untuk dirinya sendiri jika iapun mau. Dan ketika seseorang menamatkan kisahnya di dunia, menyelesaikan seluruh cerita tentang hidupnya melalui jalan senyap yaitu bunuh diri, orang ter- perangah dan berkata dengan tanda tanya yang dalam sedemikian rumit- kah hidup orang itu sampai ia harus menamatkan riwayatnya tanpa per- setujuan sang Ilahi?
Menurut pakar kejiwaan sebagai sebuah pendapat saja, penyebab utama orang bunuh diri adalah keputus’asaan. Seseorang merasa putus asa karena berbagai persoalan hidup yang mendera dan seakan tidak lagi menemukan jalan ke luar dari persoalan hidupnya itu. Entah itu karena sakit yang tidak kunjung sembuh, bisnis yang terus merugi, menganggur dalam waktu lama, kesepian, keinginan yang tak terka- bul dan banyak faktor lain yang tidak dapat dijawab yang bersangkutan itu sendiri. Beban kejiwaan yang meng- himpit itu dan tiadanya teman untuk berbagi menghasilkan keputus’asaan yang tak lagi dapat ditanggung hati yang lemah dan itu menyebabkan seseorang mengambil keputusan senyap untuk mengakhiri seluruh riwayat dan cerita tentang hidupnya dengan bunuh diri.
Itulah sebabnya dalam Kitab segala kitab dalam suatu masa sebelum masehi, seorang pemazmur menulis: “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku?” Penulis yang ber- mazmur itu adalah seorang raja besar pada zamannya, sepertinya ia berada dalam keadaan tertekan menanggung beban dan ia dihantui rasa gelisah yang sangat. Sesungguh- nya sang raja sedang dalam kondisi kejiwaan yang terguncang masuk dalam keputus’asaan yang sangat, walaupun pada akhirnya ia dapat ke luar dari kondisi itu. Sesungguhnya situasi tertekan dan gelisah yang dialami adalah jalan awal dalam keputus’asaan.
Kata putus asa menurut kamu bebas bahasa Indonesia dapat diartikan dengan keadaan yang tidak ada harapan atau sia-sia, bingung sekali, sangat kusut dan terganggu pikiran- nya. Dari arti kata dapat disimpulkan jika seseorang putus asa maka yang terjadi adalah orang itu kehilangan pengharapan dan kemampuan akal sehatnya untuk ke luar dari per- soalan yang dihadapinya. Dan saat seperti itulah terbersit kata akhir untuk menyelesaikan seluruh riwa- yatnya di dunia yang fana ini dengan jalan pintas bunh diri.
Ketika seorang anak yang masih pelajar harus mengakhiri kisah hidupnya hanya karena tidak memi- liki hape android, atau ada seorang remaja yang mengantung dirinya karena cintanya ditolak orang yang ia sukai atau sepasang kekasih menyelesaikan perjalanan hidup di dunia yang fana karena orang tua tidak merestui cinta yang indah miliknya, sesungguhnya itu diawali oleh rasa tertekan dan gelisah dan berkembang menjadi keputus’asaan yang sangat dan seterusnya menjadi jalan buntu untuk hidup dan karena tidak mampu untuk berbagi cerita dengan orang yang lain pada akhir- nya menamatkan riwayat hidupnya sampai disitu.
Itulah sebabnya dalam Kitab segala kitab, pada zaman dahulu kala ketika para pujangga Yahudi memberi nasihat kepada bangsanya untuk bertahan dalam segala tekanan dan ke luar dari segala kegelisahan agar hidup ini dapat dinikmati. Kalau kita mengutip kalimat dalam Kitab segala kitab, dari tulisan seorang pujangga besar bernama Yesaya bangsa Izara- eli dari keturunan Yahudi di negeri berlimpah susu dan madu pernah menulis syair indah bunyinya: “Buluh yang patah terkulai tidak akan dipu- tuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan- nya”. Sungguh, syair ini mengingat- kan sesungguhnya hidup itu masih ada harapan ada pengharapan dari Dia pemilik seluruh hidup.
Buluh yang patah terkulai itu, masih ada harapan untuk hidup kembali dan bertumbuh. Sumbu yang pudar nyalanya masih ada harapan untuk tetap bersinar menerangi sekeliling. Karenanya percayalah bahwa kepu- tus’asaanmu, kegelisahanmu sekali- pun, tak akan membuat engkau tekapar kalah dalam perjuangan ini. Hidup ini untuk diperjuangkan dan bukan untuk disesali.
(Penulis: Ega Mawardin)