Merespon tulisan Sekjen MUKI (Ega Mawardin) yang berjudul MENANGKAP KERISAUAN UMAT ketika menghadiri dialog sesama pimpinan ormas & partai Kristen pada 5 Maret 2019 di rumah Ibu Telly Kasenda, saya memberi catatan berikut di bawah ini.
1. Kerisauan seperti itu sudah cukup lama. Bukan saja itu kerisauan umat Kristiani, tetapi juga oleh warga Negara RI yang lainnya - yang berkomitmen setia pada NKRI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945 dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan dalam semangat/spirit Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Mencatat "dalam semangat/spirit Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928" dalam akta dan doktrin keindonesiaan di atas karena pada 28 Oktober 1928-lah Bangsa Indonesia lahir dan dideklarasikan pada 17 Agustus 1945. Dalam Sumpah Pemuda itulah kita sungguh-sungguh "satu dalam kebhinnekaan dan beragam dalam keikaan". Ketika itu tidak dipertanyakan suku apa, agama apa dan ... apa-apa. Saya mendengar kesaksian itu langsung dari peserta Sumpah Pemuda, seorang nona dari Manado, yang menjahitkan bendera yang dikibarkan pada peristiwa monumental itu (pada masa tuanya beliau masih mengajar di Fakultas Kedokteran UKI; puluhan tahun yang lalu beliau sudah wafat).
Beda pada menjelang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan RI. Pada waktu itu sudah muncul pertanyaan dan pernyataan tentang agama. Pada 18 Agustus 1945, 7 (tujuh) kata terkenal dalam draf sila pertama dalam Pancasila. Terjadi dialog yang "agak panas" tentang rumusan itu. Ada kelompok yang mempertahankan, tetapi ada juga yang menolak. Sampai-sampai tokoh dari bagian timur Indonesia, Sam Ratulangi, mengancam akan ke luar dari "Indonesia Raya" dan mendirikan negara baru. Jika yang mempertahankan ketujuh kata itu adalah kelompok "fanatis" keagamaan (Islam), tetapi yang menolaknya dan yang mendorong penghapusannya (Bapak Muhammad Hatta dkk) didorong oleh nasionalisme dan patriotisme yang tinggi, bukan fanatisme agama. Di sisi lain, mereka memahami "kesatuan dan kepelbagaian" dengan kacamata yang berbeda. Yang satu pendekatan agama dan yang satu lagi pendekatan kebangsaan Indonesia.
Perdebatan itu tuntas dengan menggunakan paradigma Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi RI 17 Agustus 1945. Yang mempersatukan adalah "pendekatan kemerdekaan". Maka lahirlah UUD 1945 yang bersejarah dan monumental itu. Semua terikat ekhat oleh/didalam-nya.
2. Embrio "perpecahan" itu ada di sana. Yang ternyata, disadari atau tidak embrio itu menjelma menjadi fakta.
Pada Pemilu berikutnya "politik identitas" itu muncul. Ada Partai-partai Islam, ada Partai Kristen dan ada Partai Katolik. Di samping itu ada partai-partai dengan semangat kebangsaan. Namun pada penggabungan partai-partai sesudahnya pada Zaman Orde Baru, ternyata ada satu partai yang berdasarkan agama (Islam) dan yang lainnya partai dengan semangat "bukan agama", yaitulah Partai Demokrasi Indonesia (PDI); Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik "terpaksa melebur" (maaf dengan frasa "terpaksa ..." karena sesungguhnya penggabungan itu sah secara regulatif). Bayangkan 1(satu) partai berbasis agama (Islam)!. Ya, sama-sama berjuang dan mengisi kemerdekaan tetapi "ada keistimewaan Islam".
Hal itu lebih dipertegas oleh Menteri Agama Ratu Alamsyah Prawiranegara yang mengungkapkan pernyataan konyol yang mengatakan bahwa "kemerdekaan RI adalah hadiah umat Islam". Menyedihkan! Dan itu diucapkan oleh seorang Menteri Agama!
Umat Kristiani adalah bagian integral dari upaya "memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan". Katakanlah, sejak Budi Utomo dan Sumpah Pemuda, bukankah orang-orang Kristiani sudah ada di sana? Pada kedua Sumpah Pemuda, tahun 1926 dan tahun 1928, tokoh-tokoh sentral sudah ada umat Kristiani. Umat Hindu di Bali, demikian juga keterlibatannya memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan RI.
Pada kabinet yang pertama sejak Proklamasi RI sudah ada beberapa umat Kristiani di dalamnya. Antara lain Prof. Dr. Sutan Gunung Mulia Harahap dan Syarifuddin Harahap - tokoh inti dalam Sumpah Pemuda. Dr. Johannes Leimena, sampai-sampai 7x sebagai Pejabat Presiden sewaktu Bung Karno sebagai Presiden RI.
Pada Zaman Orde Lama, begitu juga pada Zaman Orde Baru, begitu banyak cendekiawan Kristiani yang dilibatkan sebagai menteri. Sampai saat ini, tentunya.
Pendidikan tidak terlepas dari upaya memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan RI. Sejak tahun 1600-an umat Kristiani dengan gigih mendidik anak-anak bangsa, katakanlah sekolah-sekolah yang didirikan di Ambon dan di Flores. Tahun 1800-an sudah ada sekolah di Tapanuli. Demikian juga di Minahasa, Jawa dll. Sayangnya, ada kawan-kawan yang "berkata bohong" yang mengatakan bahwa semua sekolah itu didirikan Penjajah. Mereka tidak tahu bahwa tidak sedikit usaha Penjajah untuk membatasi usaha pendidikan. Bahkan di beberapa tempat justru Penjajah yang menghalangi perkembangan dan membubarkan sekolah-sekolah tersebut. Tahun 1932 sudah ada perhimpunan Sekolah-sekolah Kristen di Indonesia yang dipimpin orang-orang pribumi.
Dalam upaya mengisi kemerdekaan, menyediakan cerdik pandai, Gereja-gereja sudah mempercakapkanya pada tahun 1949 sewaktu Sinode Gereja-gereja di seluruh Indonesia berhimpun untuk merencanakan pembentukan "Gereja yang Esa di Indonesia" yang ditetapkan kemudian pada 25 Mei 1850. Bayangkan begitu visionernya Prof. Dr. Sutan Gunung Mulia Harahap dan para pimpinan Sinode Gereja-gereja di Indonesia ketika itu. Bagi mereka bicara Gereja yang Esa di Indonesia sama pentingnya bicara penyiapan cerdik-pandai untuk mengisi kemerdekaan RI. Itulah awal berdirinya UKI (Universitas Kristen Indonesia) yang didirikan DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) pada tahun 1953. Kemudian lahirlah UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) dan UHN (Universitas HKBP Nomensen). Sampai saat ini kurang-lebih 50 perguruan tinggi Kristen yang berhimpun di BK-PTKI di samping ratusan perguruan tinggi teologi yang berhimpun di PERSETIA, PASTI dan PESATPIN. Adalah fakta bahwa tidak satupun makam pahlawan yang saya kunjungi yang tanpa salib. Kurang-lebih 30 provinsi sudah saya kunjungi dalam berbagai kesempatan.
3. Bagian ketiga ini merupakan cuplikan dari tulisan Dr. Bambang Noorsena "Indonesia Darurat Ideologi" Jerusalem, 4 Maret 2019. Saya peroleh postingannya tgl 8 Maret 2019 (saya belum mohon konfirmasi dari beliau). Kutipan ini tidak dalam kaitan dengan Pilpres 2019. Fakta historisnya yang diperlukan.
"Perbedaan Ideologi pernah membawa 2(dua) orang sahabat harus berpisah. Mereka adalah Bung Karno dan Sekarmadji Kartosowiry, keduanya murid *H. Oemar Said Tjokroaminoto. Pertentangan keduanya tak terelakkan, ketika Kartosowiryo memproklamasikan negara Islam di wilayah NKRI. Kalau sudah begini, relasi Soekarno-Kartosoewirjo melampaui relasi sesama murid Pak Tjokro, tetapi antara NKRI vs NII, antara Pancasila vs Negara agama, karena sejatinya Kartosoewirjo telah mendirikan negara dalam negara.
Sejak itu, Kartosoewirjo menjadi buron. Dan bukan kebetulan pula, kalau sandi penangkapan Kartosoewirjo dinamakan "Barathayuddha". Ini membuktikan bahwa TNI memang menganggapnya sebagai perang ideologis antara NKRI yang berdasarkan Pancasila vs Negara Islam Indonesia (NII) sebagai "pementasan ulang" perang besar yang dahulu pernah terjadi di padang Kurusetra. Seperti lakon "Kresna Duta', berbagai upaya akomodatif telah dilakukan oleh Bung Karno untuk menjinakkan sahabatnya yang "sesat ideologis" itu.
Terbukti ketika Bung Karno terpilih sebagai Presiden pertama dari NKRI yang diproklamasikannya bersama Hatta, 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo pernah direkrutnya sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Namun ideologi garis kerasnya tak berubah, bukan mendukung republik yang baru diproklamasikan, tanggal 7 Agustus 1949 Kartosoewirjo justru mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dan memaklumkan perang terhadap NKRI, seraya menyerukan: "Bunuh Sukarno, penghalang Negara Islam".
Serentetan percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno pun dilancarkan (mulai peristiwa Cikini, penembakan di istana oleh Maukar dan Idul Adha di Masjid Istana), yang semua dilakukan oleh anak buah Kartosoewirjo. Meskipun TNI berhasil menggagalkan percobaan pembunuhan itu, namun ancaman teror terus menghantui masyarakat. Sampai tanggal 7 Juni 1962, ketika operasi TNI dengan sandi "Barathayuddha"-nya berhasil menangkap Kartosoewirjo di gunung Geber, yang akhirnya dijatuhi dengan hukuman mati karena tindakan makar.
Jadi, jangan anggap enteng bahaya ideologisasi agama. Bahkan, gerakan Khilafah yang kini mengancam di depan mata, jauh lebih berbahaya. Mengapa? Karena Kartosoewirjo hanya gerakan lokal, sedangkan Khilafah sifatnya transnasional, tak mengenal batas-batas negara, memiliki jejaring internasional yang saling terkait dan bersinambung.
Suatu pagi, di tahun 1964. Bung Karno menangis di depan S. Parman, yang menyodorkan kepadanya surat putusan eksekusi mati Kartosuwirjo. Bung Karno tak sanggup menandatangani vonis mati terhadap sesama murid Pak Tjokro, bahkan teman masa kecilnya tersebut. "Kembalilah setelah maghrib", pinta Bung Karno. Sepanjang hari Sang Proklamator gundah, berdoa bersimbah air mata. Setelah shalat maghrib, barulah Bung Karno mantap melangkah, tegas bertindak. Putusan itu ditandatangani, Kartosoewirjo, gembong DI/TII itu, akhirnya ditembak mati dan tamatlah riwayat NII".
Melalui tulisan itu saya hendak mengatakan bahwa sesungguhnya embrio 18 Agustus 1945 bertumbuh subur oleh Kartosoewirjo dkk.
Ternyata matinya Kartosoewirjo tidak berarti matinya "perjuangan 7(tujuh) kata itu. Bahkan lebih daripada itu.
4. Begitu besar masalah ideologi yang dihadapi bangsa ini dewasa ini. Terutama dengan gerakan khilafah yang massif, terstruktur dan terang-terang. Saya menduga masalah itulah yang membuat bangsa ini menjadi risau.
Apa yang mesti kita lakukan? Tentu, jawaban kita sama yaitu berdoa. Salah satu doa kita yalah agar Tuhan memberikan kekuatan kepada Pemerintah dan bangsa Indonesia untuk mengatasi persoalan mahabesar itu dan tetap pada identitas dan eksistensi bangsa ini.
Kepada-Nya kita memohon agar kepada kita dibeikan roh keberanian. Bertobatlah kiranya kita dari roh perpecahan. Sejarah menunjukkan bahwa kita pun tidak jauh-jauh dari roh perpecahan itu.
Sinode Gereja-gereja menjadi ratusan, erat kaitannya dengan perpecahan. Tidak berapa Sinode Gereja yang dimandirikan induknya. Umumnya karena "berantem"
Implikasi praktisnya pun muncullah lembaga-gerejawi yang baru. Semula adalah DGI/PGI lalu muncullah yang lainnya. Pada tahun 1990-an sampai ada 7 (tujuh) lembaga gerejawi aras nasional. Lembaga keumatan "relatif aman" kecuali lembaga keumatan bidang politik. Aman, karena dari papan namanya tidak ada perpecahan. GMKI tetap satu dll.
Namun dari segi partai tidak bisa dipisahkan dari perpecahan. Katakanlah PDKB, walau partai nasionalis tetapi didirikan umat Kristiani, pecah juga. Sampai sekarang "masih tidur" setelah perpecahan itu. Begitu juga PDS (Partai Damai Sejahtera). Sama seperti PDKB, PDS sempat satu fraksi di DPR-RI. Pecah juga dan sampai saat ini "belum bangun".
Nah, apa yang mesti kita lalukan sekarang ini dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Apa? Terimakasih.
Penulis: [Jerry R. Sirait - Praktisi Pendidikan dan Pengawas MUKI]